Kungfu terkenal sebagai beladiri dari China, hal ini tidak terlalu salah, karena memang asal kata kungfu berasal dari bahasa China. Namun jika dilihat dari asal katanya yang berarti energy-time, maka pembatasan makna kungfu adalah beladiri China menjadi tidak relevan dan tidak sesuai dengan makna yang sesungguhnya. Kungfu memiliki arti energi atau skill yang diperoleh dengan proses yang membutuhkan waktu panjang. Dilihat dari makna ini seorang tukang kayu, penjahit, koki dan bahkan seorang pembalap adalah mereka yang memiliki kungfu. Jika kungfu diartikan sebagai bela diri maka bela diri apapun dapat dikategorikan sebagai kungfu. Tinju (boxing) adalah kungfunya orang barat, karate adalah kungfu jepang, silat adalah kungfu Indonesia, melempar boomerang adalah kungfu aborijin. Jadi sebenarnya kungfu adalah sistem dalam aliran bela diri itu sendiri.
Tiap sistem dalam aliran bela diri memiliki ujung dan pangkalnya masing-masing. Pangkalnya adalah latihan fisik dan filosofi, ujungnya adalah peningkatan energi atau skill tertentu serta moralitas yang makin baik. Kungfu tidak identik dengan perguruan apalagi dengan etnis tertentu, namun identik dengan suatu skill tertentu yang tentu saja tiap perguruan memiliki standarnya masing-masing. Selain melakukan standarisasi teknik, biasanya juga ada standarisasi moral. Inilah sebabnya terkadang seorang guru tidak menyamakan ilmu yang diberikan pada murid-muridnya. Atau bisa saja ilmu luarnya sama tetapi ada beberapa 'rahasia' terkait ilmu tersebut yang tidak diberikan pada murid lain. Pilih kasih? Bukan. Namun tiap perguruan memiliki standar dalam teknik dan moralitas. Dari penjelasan ini jelas bahwa yang dianggap sebagai skill bukan hanya melulu terkait teknik berkelahi atau teknik tenaga dalam tertentu, namun juga skill dalam moralitas.
Baiklah sekarang kita bahas sedikit tentang kungfu dalam pengertian keahlian dan atau kekuatan dalam bela diri. Tiap perguruan memiliki sistem yang biasanya terkait dengan sistem grading, di mana pada setiap grade ada ilmu atau keahlian tertentu yang harus dikuasai. Sistem grade ini dikenalkan secara massive oleh bela diri Jepang, misalnya sabuk putih sampai coklat untuk tingkatan Kyu, untuk tingkatan Dan, warna sabuk konsisten hitam dari Dan 1-7, sabuk merah putih untuk Dan 8-9, sabuk merah untuk Dan 10. Untuk bela diri dengan sistem grade seperti ini biasanya berlaku standarisasi yang ketat, lamanya seseorang berada di satu tingkat juga ditentukan, misalnya untuk Dan 1, perlu waktu 1 tahun untuk ikut ujian Dan 2, Dan 2 perlu waktu 2 tahun untuk ikut ujian Dan 3 dst. Di perguran silat nasional yang terkenal dengan mematahkan benda2 keras, selain ada standar waktu dalam tiap grade juga ada standar fisik seperti lari sekian kilometer, ada juga pencapaian mematahkan kikir, beton cor2an atau bahkan balok es dengan jumlah tertentu, bahkan dengan jumlah tarikan nafas yang juga diatur. Namun untuk perguruan tradisional tidak ada grade yang jelas, yang membedakan antara murid satu dengan yang lain hanya masalah "masuk duluan" atau "masuk belakangan". Sewaktu saya belajar sistem kungfu tradisional aliran Mpek King Yang, jangankan sabuk, baju latihan resmi saja tidak ada. Yang belajar dan yang ngajar pada pake baju bebas. Ada yang pake celana pendek, pake celana training, bahkan guru saya sendiri oom Roy pake celana kerja. hehehe... Demikian pula untuk ilmu yang diberikan amat personal sifatnya. Ketika hari pertama latihan, pelajaran yang diberikan pada saya berbeda dengan yang sudah belajar lebih dulu dari saya. Bukan karena saya disuruh menyapu ruang latihan sebelum belajar, tapi saya diberikan detail ilmu yang bahkan belum diturunkan pada senior saya yang sudah 1 tahun belajar. Ilmunya sama-sama Sam Chien, tapi ada detail yang baru diberikan saat murid sudah bisa mengeksekusi gerakan awal yang unik.
Ada hal unik lain untuk ilmu yang sama namun bisa jadi cara melatih dan target pencapaiannya berbeda. Misalnya untuk ilmu Cakar Harimau, perguruan A misalnya mempunyai target dalam 100 hari pertama sudah bisa mencabik batok kelapa, sementara di perguran B waktu 3 bulan didekasikan hanya untuk latihan pernafasan, 3 bulan untuk latihan menusuk biji2an, 6 bulan untuk push up pakai jari, 6 bulan untuk latihan angkat kendi. Untuk perguruan A melihat bukti secara visual seperti mencabik batok kelapa atau mengupas sabut kelapa atau bahkan mematahkan per mobil dengan jari adalah suatu hal yang mutlak diperlukan karena jelas capaian fisiknya. Namun untuk perguruan B lebih pada efektifitas pertarungan, misalnya melumpuhkan lawan dengan mencengkeram bagian-bagian tertentu.Yang jelas seremeh apapun (menurut kita) tingkat pencapaian sesorang dalam suatu seni/aliran haruslah dihormati, karena tidak semua orang mau menjalaninya.
Di sisi lain, peningkatan skill atau energi tertentu haruslah disertai dengan peningkatan moralitas. Masalahnya moralitas tidak ada ukurannya, walaupun dapat diuji dengan cara atau treatment tertentu, namun hal ini lebih pada kreativitas dan ketajaman mata hati sang guru. Memberi pelajaran yang sama selama sekian tahun atau melakukan hal yang menurut murid tidak ada artinya adalah salah satu cara, di samping memberi wejangan dan arahan. Sewaktu saya datang ke Oom Khang Hay ke perguruannya, yang beliau lakukan pertama kali adalah menanyakan motivasi belajar dan pengarahan untuk jadi orang baik dan sabar. Setelah ngobrol kurang lebih 1 jam barulah beliau bilang latihan hari ini jam segini bayaran per bulan sekian, bukan cuma menyodorkan formulir pendaftaran (gak ada juga sih formulirnya... hehehe..). Dan alhamdulillah pula tiap ada kesempatan pasti beliau menyampaikan nasehat2 yang menurut saya, kalaupun saya tidak jadi pendekar aliran tersebut, namun dapat menjadi bekal untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Jadi jika seseorang belajar bela diri tapi makin takabbur, suka berbohong, pemarah, penakut, tidak percaya diri dll maka orang tersebut tidak memiliki skill pengelolaan hati yang mumpuni. Artinya ada yang kurang atau salah sistem pelatihan bela diri yang ditekuninya. Idealnya sistem pelatihan dalam bela diri dapat menambal kekurangan yang ada dalam pendidikan formal dan lingkungan yang sudah kadung jauh dari harapan.
Menurut saya kesempurnaan seorang praktisi bela diri adalah penjelasan yang disampaikan oleh Katsumoto pada Letnan Nathan Algreen dlm film Last Samurai tentang makna Bushido, "Kehidupan dalam setiap tarikan nafas." Yang artinya setiap praktisi bela diri harus menghargai selembar kehidupan pada setiap makhluk, namun pada saat yang sama tidak boleh berhenti berjuang selama nafas masih ada. Menghargai kehidupan didapat dari hati yang sehat, sedangkan berjuang sampai nafas terakhir menunjukkan dedikasi sepanjang hidup dalam bela diri. Idealnya tidak ada yang dapat melukai hati dan tubuh seorang praktisi bela diri, karena ia memiliki skill moral dan skill teknik yang baik, kecuali takdir ilahi.
Serba instant! Itulah penyebab kenapa banyak beredar berbagai buku dan video bertemakan beladiri, mulai dari yang diperjualbelikan hingga yang gratisan via youtube. Para penganut ideologi instant ini berfikir bisa mempelajari beladiri tanpa guru, padahal para guru yang membuat panduan-panduan tersebut berjuang untuk mempelajari beladiri sampai bisa di tingkat sekarang. Apakah mungkin mempelajari beladiri tanpa guru? Pertanyaan ini diexplore di tulisan berikut:
0 Comments:
Posting Komentar